Review Film KKN DI DESA PENARI





Sudah mundur berkali-kali sejak rencana awal penayangan 19 Maret 2020, nyatanya KKN Di Desa Penari tetap dibanjiri penonton (angka sejuta bakal dicapai sebelum seminggu). Apa yang membuatnya fenomenal? Utas viral di Twitter yang disampaikan SimpleMan efektif karena ada "kedekatan". Sebab sebelum ini pun, peristiwa mistis di tengah KKN, termasuk yang melibatkan kemesuman mahasiswa, sudah kerap mengisi obrolan. 

Kedekatan itu memudahkan pembaca mengasosiasikan diri dengan nasib tokoh-tokohnya, baik yang jadi "korban langsung", maupun mereka yang terkena dampak perbuatan kawan-kawannya. Kedekatan itu lenyap dari adaptasi layar lebar buatan Awi Suryadi, yang cuma tertarik memvisualkan petikan-petikan tweet SimpleMan layaknya sketsa, ketimbang membangun keutuhan dunianya.

Setelah mendapat persetujuan Pak Prabu (Kiki Narendra) selaku kades, entam mahasiswa menjalankan KKN di sebuah desa terpencil. Nur (Tissa Biani), Bima (Achmad Megantara), Ayu (Aghniny Haque), Widya (Adinda Thomas), Anton (Calvin Jeremy), dan Wahyu (M. Fajar Nugraha), mulai melaksanakan proker, meski sejak kedatangan sudah mencium aroma ketidakberesan. 

Saya jarang mengharapkan penokohan solid di film horor, tapi tanpanya, kekuatan KKN Di Desa Penari berkurang drastis. Sedikit melompat, film ini mempunyai third act kuat (belongs in a better movie) berisi tarian intens (performa Aghniny Haque yang di sepanjang film biasa saja, tiba-tiba melonjak di titik ini) dan konklusi yang mengincar rasa tragis. Masalahnya, tidak satu pun individu diberi penokohan jelas, interaksi kurang digali, apa yang dikerjakan selama KKN juga entah apa. Sulit terkoneksi dengan karakternya, dan tanpa koneksi, tiada sense of tragedy.

Naskahnya ditulis oleh Lele Laila, yang jadi langganan Awi Suryadi dalam semua keterlibatannya di seri Danur sebagai sutradara. Berkaca dari masa lalu, mudah menebak pendekatan kolaborasi keduanya: kompilasi teror. Naskahnya mengadaptasi utas SimpleMan secara apa adanya, tanpa usaha menjalin penceritaan secara utuh. 

Gaya pengarahan Awi untuk KKN Di Desa Penari cenderung lebih dekat ke Asih ketimbang trilogi Danur. Tempo lambat di awal guna menciptakan atmosfer, sembari menghindari kebisingan jump scare. Harus diakui, gaya di atas, ditambah biaya tinggi yang memfasilitasi "hobi" sang sutradara tampil stylish (camerawork, efek transisi), menjauhkan film ini dari kesan murahan. Tapi menjadi percuma tatkala masih menyamakan "alur" dengan "kompilasi teror". 



Sebuah sekuen cocok dijadikan gambaran mengapa KKN Di Desa Penari cocok disebut "kompilasi teror" atau "sketsa horor". Nur dan Widya hendak bergantian mandi. Nur masuk lebih dulu, namun akhirnya mengurungkan niat mandi gara-gara melihat genderuwo. Widya lebih beruntung. Dia sempat mandi (kalau "berkali-kali mengguyurkan air ke satu tempat" bisa disebut "mandi"), sebelum dikunjungi oleh Badarawuhi (Aulia Sarah) si hantu penari. 

Repetisi ala sketsanya makin terasa akibat presentasi setiap penampakan tak seberapa berkesan, walau sekali lagi, biaya tinggi menguatkan kualitas elemen artistik, termasuk tata rias meyakinkan saat Badarawuhi muncul dengan wujud aslinya. 

Hasilnya akan lain apabila di sela-sela waktu tersebut penonton berhasil dibuat terkoneksi dengan tokoh-tokohnya, sekaligus diajak ikut tenggelam dalam pertanyaan serta ketidakberdayaan mereka. Kisahnya selalu lebih menarik tatkala Pak Prabu menyinggung sedikit demi sedikit masa lalu kelam desanya, atau ketika Mbah Buyut (Diding Boneng) berbagi sekilas ilmu mengenai mistisisme. Alias, tersimpan setumpuk potensi berbentuk cerita perihal kepercayaan mistis khas daerah Indonesia, yang dibiarkan terkubur tanpa sering dijamah oleh filmnya. 


Posting Komentar

0 Komentar